Selasa, 10 Maret 2009

DPR dan Unicef Soroti Kekerasan terhadap Anak

Hindari Kekerasan Terhadap Anak !!!!

Walaupun telah memiliki UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Indonesia belum punya data yang valid perihal kekerasan terhadap anak.“Lebih baik mati daripada jadi beban keluarga.” Begitulah kurang lebih wasiat terakhir yang disampaikan Tomy Perwira Jati dalam secarik kertas sebelum ia gantung diri, Selasa lalu.

Tomy baru berumur 14 tahun ketika memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Siswa kelas 2 SMPN I Bojonegoro, Jawa Timur, ini diduga mengalami tekanan batin usai menghilangkan SIM dan STNK serta gagal masuk tim tenis untuk pekan olahraga daerah. “Keluarga, pihak sekolah dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa Tomy benar-benar tertekan akibat masalah-masalah itu,” kata Hadi Winarto, paman Tomy yang kebetulan juga guru di SMPN 1 Bojonegoro, sebagaimana dikutip harian Surya.

Di Ibukota, aksi kekerasan terhadap anak terbilang jamak. Pekan ini, Ibukota malah gempar oleh penemuan anak korban mutilasi dan kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan dengan beragam jenis dan modus terus berlangsung.

Peristiwa tragis di Bojonegoro dan kota-kota lain menjadi pertanda bahwa anak-anak sangat rentan terhadap berbagai persoalan. Yang memprihatinkan, orang-orang dewasa—khususnya pihak keluarga—kerap acuh terhadap masalah yang menghimpit anak-anak. Ketika orang tua tidak memberi solusi terhadap masalah itu, anak-anak mencari jalan keluarnya sendiri.

Tindakan pengabaian orang tua terhadap anaknya bisa digolongkan sebagai kekerasan terhadap anak. Konvensi Hak Anak mendefinisikan ‘kekerasan’ sebagai semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual.

Dalam rangka menghapuskan kekerasan terhadap anak, DPR dan Unicef bersua dua hari lalu (14/5). Agenda besarnya adalah mendorong anggota parlemen agar sanggup menjadi legislator yang mampu menyusun perundang-undangan yang pro-anak.

Deputi Kepala Perwakilan Unicef Indonesia, Marcoluigi Corsi, mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki data-data yang valid perihal kekerasan terhadap anak. Kondisi demikian ternyata tidak hanya terjadi di sini, tetapi juga banyak negara lainnya.

Corsi mengapresiasi sistem hukum Indonesia yang melindungi anak-anak. Disahkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menunjukkan parlemen cukup memiliki komitmen dalam melindungi anak-anak dari kekerasan.

Kekerasan Terhadap Anak di Dunia dalam Angka:

* Sekitar 80 sampai 98 persen anak-anak mengalami hukuman fisik di rumah mereka.
* Di lebih dari 100 negara, anak-anak masih mengalami ancaman atau hukuman fisik dengan cambuk, ikat pinggang atau alat lain di sekolah.
* Sekurang-kurang di 30 negara, hukuman cambuk atau rotan masih diterapkan pada anak dalam sistem pidana.
* Hanya 2,4 persen dari anak di dunia secara hukum dilindungi dari hukuman fisik di semua lingkungan latar belakang.
* Setiap tahun, 133 juta dan 275 anak menyaksikan kekerasan yang sering terjadi di antara orang tua mereka.
* Antara 20 hingga 65 persen anak usia sekolah di negara-negara berkembang mengalami kekerasan verbal dan fisik.
* Dalam survei di 21 negara, setidaknya 7 persen perempuan dan 3 persen laki-laki mengalami viktimasi seksual selama masa kanak-kanak.
* Pada tahun 2004, 218 juta anak terlibat dalam perburuhan anak. Sebanyak 126 juta di antaranya bekerja di lingkungan yang berbahaya.
* Sekitar 5,7 juta anak berpartisipasi dalam kerja paksa; 1,8 juta anak dieksploitasi dalam pelacuran dan pornografi; dan 1,2 juta anak menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).
* Hampir 53.000 anak diperkirakan tewas pada tahun 2002 akibat homisida. Di beberapa negara industri, anak yang berusia di bawah satu tahun menghadapi resiko homisida 3 kali lebih tinggi, sebagian besar di tangan orang tua, dibanding anak usia 1-4 tahun, dan 2 kali lebih tinggi dibanding dengan mereka yang berusia 5-14 tahun.
* Dari anak-anak yang menjadi korban homisida, 22.000 (atau hampir 42 persennya) berusia 15-17 tahun, dan dari jumlah itu, 75 persennya adalah anak laki-laki.

Sumber: “Menghapus Kekerasan terhadap Anak”, diterbitkan oleh Inter-Parliamentary Union dan Unicef.

Ketua DPR Agung Laksono mengatakan, seperti halnya di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia juga mengalami kekerasan. Kekerasan itu bisa terjadi dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah atau dalam pergaulan dengan teman sebaya. “Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak,” ungkapnya.

Agung menuding kondisi ekonomi yang buruk sebagai pemicu kekerasan terhadap anak. “Tekanan hidup yang semakin meningkat dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak,” ujarnya.

Di samping dimanfaatkan untuk mengurai benang kusut kekerasan terhadap anak, pertemuan kemarin juga digunakan untuk meluncurkan buku berjudul “Menghapuskan Kekerasan terhadap Anak.” Buku yang dicetak Inter-Parliamentary Union dan Unicef ini dimaksudkan sebagai buku panduan bagi angggota DPR untuk mengadvokasi persoalan-persoalan anak. Tinggal sekarang, bagaimana anggota parlemen kita bertindak.

[Sumber berita: hukumonline.com]

Kita Lihat Jendela FASE Yuuk:

1. Sosialisasi di sekolah - sekolah :
a. SMA Gita Bahari Semarang .
b. SMA Sultan Agung 3 Semarang .
c. SMK Pelayaran Semarang .
d. SMA Negeri 9 Semarang .

2.Peringatan Hari Anak Nasional ( 23 Juli 2008 )
dengan cara aksi anak di Tugu Muda Semarang .

3.Dialog ANAK

4.Lomba poster tentang hak - hak anak .

5. Lomba cerita anak buat anak SMA / SMK se - Kota Semarang .

6. Launching Forum Anak Kota Semarang .

7. Pelatihan - pelatihan :
a. Pelatihan Sebaya Anak .
b. Pelatihan Advokasi Anak .
c. Pelatihan Konselor Sebaya .

8. Ikut serta dalam acara :
a. seminar - seminar .
b. pelatihan - pelatihan .
c. Kongres Anak Indonesia VII 2008 ( ada yang jadi salah satu Duta Anak Partisipasi lho . . )

anak jalanan

ANAK JALANAN PEREMPUAN SEMARANG

Pengertian anak jalanan perempuan yang digunakan dalam tulisan ini adalah seseorang perempuan yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan yang melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.
Di Semarang sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah yang merupakan kota terbesar kelima di Indonesia, tidak luput sebagai kota yang menjadi lokasi kegiatan anak jalanan. Terjadinya krisis ekonomi telah memberikan pengaruh bagi peningkatan jumlah anak jalanan hingga mencapai 100-200%. Sebelum krisis PAJS memperkirakan ada sekitar 700 anak jalanan. Sedangkan setelah krisis perkiraan yang ada antara 1500-200 anak jalanan (Kanwil Depsos Jawa Tengah, 1999 dan Tabloid Manunggal, edisi V/Thn XVII/April-Mei 1998).
Seiring dengan peningkatan jumlah anak jalanan secara keseluruhan, jumlah anak jalanan perempuan juga mengalami peningkatan. Pada saat ini, apabila jumlah keseluruhan anak jalanan di Semarang ada 2,000 anak, bersandarkan pada perkiraan Irwanto & Anwar (1999) bahwa 10% dari seluruh populasi anak jalanan adalah perempuan, maka jumlah anak jalanan perempuan yang ada di Semarang sekitar 200 anak. Sedangkan bila didasarkan pada berbagai hasil penelitian, pendataan dan laporan-laporan program mengenai anak jalanan di Semarang (Permadi & Ardhianie, 1997; SSKP, 1997; SSKP, 1999; Sunarti, 1998; dan Setara, 1999), prosentase jumlah anak jalanan perempuan berkisar antara 20-30% dari populasi anak jalanan keseluruhan. Dengan menggunakan hitungan ini, maka jumlahnya berkisar antara 400-600 anak.
Di beberapa lokasi, keberadaan anak perempuan terlihat lebih menonjol terutama di kawasan Pasar Johar, Simpang Lima, dan Tugu Muda. Di kawasan Simpang Lima, prosentase anak jalanan perempuan mencapai 53,6% (Sunarti, 1998) dan di kawasan Pasar Johar mencapai 62,5% (Setara, 1999).
Anak jalanan yang pada awalnya cenderung berasal dari luar kota pada perkembangannya telah berubah dan didominasi oleh anak yang berasal dari dalam kota Semarang. Dari 56 anak jalanan perempuan yang menjadi subyek penelitian, 46 anak (82%) diantaranya berasal dari Semarang yaitu dari berbagai kawasan pemukiman kaum urban atau daerah miskin, seperti kawasan Bandarharjo, Gunung Brintik, Tandang-Mrican dan Pandansari. Keempat daerah ini dikenal pula sebagai basis tempat tinggal anak jalanan. Hal yang patut dicermati, hampir separuh (43,5%) anak perempuan yang berasal dari Semarang sudah tidak tinggal bersama keluarganya lagi.
Tempat-tempat yang diidentifikasikan pernah menjadi tempat tinggal anak jalanan yaitu gedung-gedung kosong yang sudah tidak terpakai atau hendak direnovasi, (Gedung Lawang Sewu, Gris, Manggala); emperan toko (emperan Super Ekonomi dan Plaza di Simpang Lima); Los-los pasar (Pasar Johar, Pasar Bulu dan Pasar Karang Ayu); Lapangan Simpang Lima; Taman Tugu Muda; dan gerbong-gerbong kereta api di stasiun Poncol. Anak perempuan berbaur bersama anak atau komunitas jalanan laki-laki yang bisa menjadi pelindung atau justru menjadi pelaku yang akan mengekploitasi mereka khususnya secara seksual.

Mengapa Pergi Ke Jalanan?
Ada berbagai faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan anak perempuan pergi ke jalanan. Hingga saat ini banyak pihak yang meyakini bahwa kemiskinan merupakan faktor utama yang mendorong anak pergi ke jalanan atau menjadi pekerja, sebagaimana terungkap dalam berbagai penelitian mengenai anak jalanan dan buruh/pekerja anak (Lihat misalnya, Irwanto dkk., 1995; Tjandraningsih, 1996; Mulandar (ed.), 1996; Pardoen dkk, 1996; Hariadi & Suyanto -ed., 1999). Pada keluarga miskin, ketika kelangsungan hidup keluarga terancam, seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak dikerahkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga (FNV, 1995). Dengan demikian, anak dari keluarga miskin, karena kondisi kemiskinannya, secara umum menjadi kurang terlindungi sehingga harus menghadapi resiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan. Dengan kata lain, kemiskinan menciptakan kondisi kunci dalam mendorong anak menjadi anak jalanan (Farid dalam Irwanto, et.al., 1998). Sedangkan berdasarkan penuturan dari anak, alasan mereka ke jalan dipengaruhi oleh;
? Kekerasan dalam keluarga
? Dorongan keluarga
? Impian kebebasan
? Ingin memiliki uang sendiri
? Pengaruh teman,

Bagaimana Mempertahankan Hidup?
Pekerjaan yang pernah saya lakukan selama di jalanan yaitu mengemis, mengamen, menyemir sepatu, jualan koran, mayeng, ngoyen, dan membantu bandar judi. Saya juga pernah memeras dan mencuri untuk mendapatkan uang. Diajak ?main? saya mau asal diberi uang dua puluh ribu,
(Krn, 17 tahun)

Kehidupan jalanan dikenal keras dan penuh berbagai bentuk ekploitasi. Sosok manusia bagaikan serigala yang senantiasa memangsa manusia lainnya mudah dijumpai dalam kehidupan jalanan. Jalanan bagaikan hutan belantara yang memberlakukan hukum rimba. Siapa kuat dia akan menjadi pemenangnya. Maka, ketika anak-anak, terlebih anak perempuan ? yang dalam kehidupan normal-pun masih terpinggirkan ? memasuki dunia jalanan, mereka menjadi obyek dari beragam perlakuan salah dan ekploitasi terutama yang berhubungan dengan seksualitas mereka. Pengalaman-pengalaman buruk yang sering didengar atau pernah dialami, membuat anak perempuan dituntut untuk mengembangkan kreativitasnya yang tidak hanya sekedar mendapatkan uang untuk membiayai hidupnya melainkan juga di dalam upaya melindungi dirinya dari beragam ancaman yang ada di jalanan.
Upaya-upaya yang dilakukan agar anak mendapatkan penghasilan, makan atau kebutuhan lainnya sangat beragam seperti terlihat di tabel 2. Seorang anak tidak hanya melakukan satu jenis kegiatan tertentu namun bisa berganti-ganti jenis kegiatan pada masa yang berbeda atau bahkan pada masa yang bersamaan. Sedangkan upaya yang dilakukan untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan fisik dan kekerasan seksual yaitu menjadi anggota komunitas jalanan tertentu dan mencari atau mendapatkan pasangan.
Tabel 2. Upaya anak mendapatkan penghasilan atau makanan

Minta kepada teman Lap mobil/motor
Diberi oleh teman Jualan Koran
Meminta kepada pacar Asongan
Diberi oleh Pacar Membantu bandar judi
Ngoyen Menemani orang berjudi
Memulung Menemani tamu
Mayeng Memeras
Mengemis Mencuri
Uri-uri Mencopet
Mengamen Pengedar obat
Menyemir sepatu Prostitusi



Eksploitasi Seksual
Pelecehan dan kekerasan seksual
Pelecehan dan kekerasan seksual sering dialami anak jalanan perempuan dalam berbagai bentuknya, seperti dicolek, diraba-raba, dan diperkosa. Anak perempuan, terutama yang tinggal di jalanan, saat tidur sering mengalami pelecehan atau kekerasan seksual dari anak atau anggota komunitas jalanan. Hal ini sebagaimana dialami oleh Krn (17 thn)
Krn (17 tahun) bersentuhan dengan dunia jalanan sejak usia lima tahun karena diajak ibunya mengemis. Dan sejak usia delapan tahun, ia sudah lebih banyak tinggal di jalan hingga saat ini. Krn cukup sering menjadi korban kekerasan seksual. Saat tidur di jalanan, ia kerap terjaga dan melihat banyak laki-laki menggerayangi seluruh tubuhnya, menciumi dan meraba-raba alat vitalnya. Ia pernah dikurung selama berhari-hari oleh sekelompok orang jalanan karena menolak untuk melayani nafsu seksual mereka. Ketika berumur 15 tahun, ia diperdaya oleh pacarnya yang memberi minuman keras lalu diperkosa. Setelah itu selama setahun lebih ia melayani nafsu seksual pacarnya yang tidak segan menyiksa sebelum dan saat berhubungan seksual. Ia pernah pula diperkosa oleh seorang petugas keamanan dan dipaksa oral seks ketika berada di dalam tahanan karena kasus pencurian sepeda.
Kasus perkosaan yang dialami oleh anak jalanan perempuan sangat tinggi. Dari 38 anak yang pernah melakukan hubungan seksual, 11 anak (30%) mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Sebagian besar pelaku adalah pacar dengan modus seragam yaitu memperdaya anak melalui minuman keras yang dicampur dengan pil. Kasus-kasus perkosaan selama anak berada di jalanan kerap kali terjadi. Seorang anak bisa mengalami kasus perkosaan lebih dari sekali. Di beberapa lokasi, kasus perkosaan terjadi sebagai bagian dari proses inisiasi dari komunitas setempat untuk menerima kehadiran anak yang baru masuk menjadi anggota komunitas. Tidak jarang perkosaan dilakukan oleh beberapa orang secara bergiliran yang dikenal dengan istilah ?Pangris? atau Jepang Baris. Peristiwa itu merupakan hal paling menakutkan bagi anak jalanan perempuan. Seorang anak yang lari dari rumah karena diperkosa oleh Bapak tirinya, mengaku pernah mengalami perkosaan yang dilakukan oleh sembilan orang ketika untuk pertama kalinya tinggal di satu kawasan.
Ketika saya tinggal di Pasar J, pada suatu malam saya diancam dengan senjata tajam oleh orang-orang pasar yang tengah mabuk dan dipaksa melayani sekitar sembilan orang, (Sv, 14 tahun)
Perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang juga dialami oleh Yt (10 thn) yang diperkosa oleh lima orang ketika masih berumur sembilan tahun. Sedangkan kasus yang hampir serupa nyaris dialami oleh Krn (17 thn) ketika ia memasuki salah satu lokasi anak jalanan. Ia dipaksa untuk melayani sekelompok orang namun ia berkeras menolaknya. Akibatnya ia dikurung berhari-hari. Ancaman perkosaan masal selalu menjadi bayang-bayang yang mencemaskan bagi anak perempuan yang berada di jalanan.
Prostitusi Anak
Keberadaan anak jalanan perempuan di dalam prostitusi terlihat tinggi. Pada penelitian ini, setidaknya diketahui ada 46,4% anak yang dilacurkan. Mereka cenderung adalah korban perkosaan, sudah lama menjadi anak jalanan dan atau tinggal di jalanan. Pada realitas sesungguhnya diduga anak jalanan perempuan yang dilacurkan jumlahnya lebih besar dibandingkan yang diketahui. Hal ini mengingat saat pengumpulan data, anak cenderung menyembunyikan informasi tersebut. Pengakuan terbuka kepada tim peneliti baru terungkap ketika wawancara dilakukan beberapa kali. Semula, ada beberapa anak yang mengakui belum pernah melakukan hubungan seksual pada akhirnya justru diketahui berada dalam prostitusi. Maka tidaklah berlebihan bila diperkirakan anak jalanan perempuan yang terlibat dalam prostitusi jumlahnya lebih besar dari data yang telah terungkap.
Anak jalanan perempuan yang dilacurkan, dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan waktu dan kegiatannya, yaitu; 1) anak yang sepenuhnya melakukan kegiatan-kegiatan prostitusi, dan 2) anak yang masih melakukan kegiatan-kegiatan lain di jalanan untuk mendapatkan uang yang kadang-kadang melakukan kegiatan prostitusi. Anak jalanan perempuan yang dilacurkan tersebar di berbagai lokasi berkumpul anak jalanan. Simpang Lima merupakan lokasi yang dijadikan sebagai tempat mangkal oleh sebagian besar anak.
Faktor-faktor resiko yang ditemukan sebagai faktor pendorong atau penarik anak jalanan perempuan berdasarkan pengakuan anak yang terpaksa memasuki dunia prostitusi, yaitu
Terjerat dalam sindikat/germo,
kami diajak oleh seorang germo, dan kegiatan inilah yang pertama kali kami lakukan, (Pe dan Sm, 16 thn)
Karena tidak perawan lagi
Saya sudah tidak perawan dan sudah pergi dari rumah, saya terpaksa melakukannya untuk mendapatkan uang (Pe & Sm 16 tahun; dan Sv, 14 tahun)
Ingin mendapatkan uang yang lebih besar
Saya ingin punya uang banyak untuk keluarga dan biar bisa beli televisi, sepeda motor, dan perabotan rumah, Ek (11 tahun)
Kecanduan pil
Asal diberi pil, saya bersedia main, (Jn, 15 tahun)
Perdagangan anak untuk tujuan seksual
Anak jalanan perempuan termasuk kelompok anak yang rentan menjadi korban perdagangan. Di Semarang dijumpai indikasi kuat mengenai adanya perdagangan anak untuk tujuan seksual di mana salah satu kelompok sasarannya adalah anak jalanan perempuan. Salah seorang subyek penelitian yang pernah menjadi korban mengungkapkan:
Saya sering melihat orang yang pulang dari sana (Batam), kok kayaknya enak. Aku mau ke sana cari duit. Ketika Mbak Wt (22 tahun) mengajak saya ke sana, saya senang sekali. Saya pergi berempat termasuk Mbak Wt, dua orang yang masih seusia saya. Ongkos perjalanan ditanggung oleh Mbak Wt sebagai pinjaman yang harus dikembalikan. Sampai di sana kami ditempatkan di satu rumah dan dipertemukan dengan tiga orang yang dipanggil Mami. Kami diminta untuk memilih salah seorang mami yang akan diikuti. Saya memilih satu mami dan tinggal di rumahnya.Selama di tempat mami, Saya disuruh melayani tamu dari Singapore, Malaysia, Philipina, India dan jepang. Tarif saya Rp. 150,000.00. Namun saya hanya menerima separonya saja. Selebihnya untuk mami. Saya tinggal selama satu bulan, karena tidak tahan saya melarikan diri dan kembali lagi ke Semarang, (Smy, 15 tahun)
Pada proses penelitian berlangsung, diduga kuat banyak anak-anak yang diperdagangkan ke kawasan Batam dan kepulauan Riau. Kegiatan ini dilakukan oleh sebuah jaringan yang melakukan perekrutan dan memberangkatkan anak dalam kelompok-kelompok kecil yang biasanya tanpa melalui penempatan di suatu penampungan terlebih dahulu. Pelaku yang melakukan perekrutan anak adalah seseorang (perempuan) yang berbeda-beda walaupun terkadang tempat tujuannya sama. Hal ini seperti pengalaman S, ketika pergi ke Batam untuk kedua kalinya karena direkrut oleh St, bertemu dan tinggal di rumah yang sama dengan Smy yang direkrut oleh Wt.

Beberapa Masalah
Kekerasan
Kekerasan dapat dikatakan sebagai bagian dari kehidupan anak jalanan. Sepanjang helaan nafas, kekerasan terus mengancam yang bisa menimpa anak setiap saat. Sejauh ini diyakini bahwa seluruh anak jalanan dapat dipastikan pernah menjadi korban salah satu atau lebih dari tipe kekerasan yang ada yaitu kekerasan mental, fisik ataupun kekerasan seksual.
Ejekan dan hinaan merupakan bentuk kekerasan mental yang paling banyak dialami oleh anak (Lebih dari 80%). Bentuk kekerasan yang juga banyak dialami oleh anak (lebih dari 50% anak) adalah dimaki, diancam dan diperas. Sedangkan bentuk kekerasan lainnya; diludahi, dimarahi, dikurung dan diusir.
Pada kekerasan fisik, dipukuli dengan alat dan ditampar merupakan bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh anak (masing-masing 58,9% anak). Ditendang, dicubit, dijambak, dikejar-kejar, dikeroyok, dipukuli dengan tangan, disundut rokok, dan ditusuk/dibacok adalah bentuk-bentuk kekerasan fisik lainnya yang dialami anak. Anak jalanan perempuan juga sering mengalami kekerasan seksual seperti pelecehan, perkosaan, penganiayaan, dan penjerumusan ke dunia prostitusi (lihat; ekploitasi seksual).
Selain kekerasan yang menimpa anak secara personal, seringkali kekerasan yang menimpa kelompok juga terjadi. Kasus-kasus penyerangan terhadap kelompok anak jalanan yang dilakukan oleh komunitas anak jalanan lain, anak-anak kampung, atau sekelompok orang yang tidak dikenal merupakan bentuk kekerasan yang menimpa kelompok. Anak jalanan perempuan, tidak luput menjadi sasaran kekerasan ini.
Penggunaan pil dan alkohol
62,5% anak diketahui telah mengkonsumsi pil dan atau alkohol. Menurut Huijben (1999), hal yang mendorong mereka mengkonsumsinya karena hal itu mereka anggap dapat menjadi jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Selain itu, sebagian anak menggunakannya untuk menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan seperti mengamen di dalam bus yang penuh. Sebagian besar anak (80%) mengkonsumsi pil dan alkohol dalam rentang waktu yang bersamaan. Hanya 11,4% yang tidak mengkonsumsi pil dan 17,1% yang tidak mengkonsumsi minuman keras. Bagi anak yang mengkonsumsi pil, 68,6% mengkonsumsi tiga atau lebih jenis pil. Sedangkan untuk minuman keras, sebagian besar anak (31,4%) mengkonsumsi dua jenis minuman keras.
Pengaruh penggunaan pil dan minuman keras sangat besar bagi anak jalanan perempuan. Anak yang diperdaya dan diperkosa oleh pacarnya sehingga kehilangan keperawanannya menggunakan modus yang sama yaitu memberi minuman keras yang dicampur oleh pil. Pelecehan, kekerasan dan ekploitasi seksual (komersial) seringkali dialami oleh anak yang menjadi korban pil dan minuman keras. Kasus Jn (15 tahun) berikut ini bisa menjadi gambaran;
Jn, tinggal di jalanan sudah satu tahun. Ia dikenal sebagai pecandu pil yang berat. Untuk mendapatkan pil, ia bersedia diajak berhubungan seksual oleh siapa saja. Bila sudah mengkonsumsi pil, Jn seringkali tidak bisa mengontrol dirinya. Ia pernah telanjang di kawasan Simpang Lima dan tidur di sembarang tempat. Anak/komunitas jalanan banyak yang senang bila Jn sudah tidak sadarkan diri. Karena dia bisa dikerjain, tutur Rz, anak jalanan laki-laki yang tinggal di komunitas yang sama dengan Jn. Jn sendiri kini tengah hamil.



PMS/HIV/AIDS
Anak jalanan dipandang rentan terhadap penularan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Ini mengingat adanya pengalaman seksual dini dan kecenderungan untuk berganti-ganti pasangan. Pada penelitian ini terungkap bahwa 38 anak (67,8%) sudah memiliki pengalaman seksual. 71,1% diantaranya (atau 48,2% dari jumlah keseluruhan anak) melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Kelompok umur terbesar dari anak untuk pertama kalinya berhubungan seksual adalah umur 14-16 tahun. Hal yang memprihatinkan adalah adanya anak berumur di bawah 10 tahun yang pernah melakukan hubungan seksual (5,6%). Temuan ini menunjukkan adanya peningkatan dari penelitian sebelumnya oleh Yayasan Duta Awam (1998) yang menunjukkan bahwa 56,5% anak jalanan perempuan telah memiliki pengalaman seksual.
Selain PMS, anak jalanan perempuan memiliki potensi tinggi dapat terinveksi HIV/AIDS. Meski sampai sejauh ini belum ditemukan adanya anak jalanan yang terinveksi, namun pengalaman dari negara lain patut menjadi cerminan bagi kita semua. Di Thailand, Chandra (CLC, edisi VII, tahun ke 2, 1993) dalam laporan perjalanannya mengungkapkan hasil pengamatan sebuah NGO yang melaksanakan Street Girls Project di mana 2 dari 3 anak terkena penyakit kelamin dan 1 dari 3 anak terkena AIDS. Mengutip berita di Media Massa, Utami (CLC, edisi VII, tahun ke 2, 1993) menyatakan bahwa dari 600,000 anak yang dilacurkan, 17 dari 18 anak mengidap virus AIDS. Sedangkan suatu penelitian tentang anak jalanan di Brazil yang dimuat di Kompas (27/8/95) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 ditemukan adanya 9% anak jalanan yang positif terinveksi HIV, dan penelitian ulang yang dilakukan pada tahun 1993 ditemukan adanya 35% anak yang positif terinveksi HIV. Ini menunjukkan adanya peningkatan yang luar biasa sekaligus menunjukkan kerentanan anak jalanan terhadap penularan HIV/AIDS.

blog baru dari Forum Anak Kota Semarang

blog FASE : forumanakkotasemarang.blogspot.com