Selasa, 10 Maret 2009

DPR dan Unicef Soroti Kekerasan terhadap Anak

Hindari Kekerasan Terhadap Anak !!!!

Walaupun telah memiliki UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Indonesia belum punya data yang valid perihal kekerasan terhadap anak.“Lebih baik mati daripada jadi beban keluarga.” Begitulah kurang lebih wasiat terakhir yang disampaikan Tomy Perwira Jati dalam secarik kertas sebelum ia gantung diri, Selasa lalu.

Tomy baru berumur 14 tahun ketika memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Siswa kelas 2 SMPN I Bojonegoro, Jawa Timur, ini diduga mengalami tekanan batin usai menghilangkan SIM dan STNK serta gagal masuk tim tenis untuk pekan olahraga daerah. “Keluarga, pihak sekolah dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa Tomy benar-benar tertekan akibat masalah-masalah itu,” kata Hadi Winarto, paman Tomy yang kebetulan juga guru di SMPN 1 Bojonegoro, sebagaimana dikutip harian Surya.

Di Ibukota, aksi kekerasan terhadap anak terbilang jamak. Pekan ini, Ibukota malah gempar oleh penemuan anak korban mutilasi dan kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan dengan beragam jenis dan modus terus berlangsung.

Peristiwa tragis di Bojonegoro dan kota-kota lain menjadi pertanda bahwa anak-anak sangat rentan terhadap berbagai persoalan. Yang memprihatinkan, orang-orang dewasa—khususnya pihak keluarga—kerap acuh terhadap masalah yang menghimpit anak-anak. Ketika orang tua tidak memberi solusi terhadap masalah itu, anak-anak mencari jalan keluarnya sendiri.

Tindakan pengabaian orang tua terhadap anaknya bisa digolongkan sebagai kekerasan terhadap anak. Konvensi Hak Anak mendefinisikan ‘kekerasan’ sebagai semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual.

Dalam rangka menghapuskan kekerasan terhadap anak, DPR dan Unicef bersua dua hari lalu (14/5). Agenda besarnya adalah mendorong anggota parlemen agar sanggup menjadi legislator yang mampu menyusun perundang-undangan yang pro-anak.

Deputi Kepala Perwakilan Unicef Indonesia, Marcoluigi Corsi, mengatakan bahwa Indonesia belum memiliki data-data yang valid perihal kekerasan terhadap anak. Kondisi demikian ternyata tidak hanya terjadi di sini, tetapi juga banyak negara lainnya.

Corsi mengapresiasi sistem hukum Indonesia yang melindungi anak-anak. Disahkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menunjukkan parlemen cukup memiliki komitmen dalam melindungi anak-anak dari kekerasan.

Kekerasan Terhadap Anak di Dunia dalam Angka:

* Sekitar 80 sampai 98 persen anak-anak mengalami hukuman fisik di rumah mereka.
* Di lebih dari 100 negara, anak-anak masih mengalami ancaman atau hukuman fisik dengan cambuk, ikat pinggang atau alat lain di sekolah.
* Sekurang-kurang di 30 negara, hukuman cambuk atau rotan masih diterapkan pada anak dalam sistem pidana.
* Hanya 2,4 persen dari anak di dunia secara hukum dilindungi dari hukuman fisik di semua lingkungan latar belakang.
* Setiap tahun, 133 juta dan 275 anak menyaksikan kekerasan yang sering terjadi di antara orang tua mereka.
* Antara 20 hingga 65 persen anak usia sekolah di negara-negara berkembang mengalami kekerasan verbal dan fisik.
* Dalam survei di 21 negara, setidaknya 7 persen perempuan dan 3 persen laki-laki mengalami viktimasi seksual selama masa kanak-kanak.
* Pada tahun 2004, 218 juta anak terlibat dalam perburuhan anak. Sebanyak 126 juta di antaranya bekerja di lingkungan yang berbahaya.
* Sekitar 5,7 juta anak berpartisipasi dalam kerja paksa; 1,8 juta anak dieksploitasi dalam pelacuran dan pornografi; dan 1,2 juta anak menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).
* Hampir 53.000 anak diperkirakan tewas pada tahun 2002 akibat homisida. Di beberapa negara industri, anak yang berusia di bawah satu tahun menghadapi resiko homisida 3 kali lebih tinggi, sebagian besar di tangan orang tua, dibanding anak usia 1-4 tahun, dan 2 kali lebih tinggi dibanding dengan mereka yang berusia 5-14 tahun.
* Dari anak-anak yang menjadi korban homisida, 22.000 (atau hampir 42 persennya) berusia 15-17 tahun, dan dari jumlah itu, 75 persennya adalah anak laki-laki.

Sumber: “Menghapus Kekerasan terhadap Anak”, diterbitkan oleh Inter-Parliamentary Union dan Unicef.

Ketua DPR Agung Laksono mengatakan, seperti halnya di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia juga mengalami kekerasan. Kekerasan itu bisa terjadi dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah atau dalam pergaulan dengan teman sebaya. “Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak,” ungkapnya.

Agung menuding kondisi ekonomi yang buruk sebagai pemicu kekerasan terhadap anak. “Tekanan hidup yang semakin meningkat dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak,” ujarnya.

Di samping dimanfaatkan untuk mengurai benang kusut kekerasan terhadap anak, pertemuan kemarin juga digunakan untuk meluncurkan buku berjudul “Menghapuskan Kekerasan terhadap Anak.” Buku yang dicetak Inter-Parliamentary Union dan Unicef ini dimaksudkan sebagai buku panduan bagi angggota DPR untuk mengadvokasi persoalan-persoalan anak. Tinggal sekarang, bagaimana anggota parlemen kita bertindak.

[Sumber berita: hukumonline.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar